Oleh Hartono Hadjarati
1. Memberdayakan Olah
Raga Nasional
Dalam kehidupan modern olahraga telah menjadi tuntutan dan
kebutuhan hidup agar lebih sejahtera.Olahraga semakin diperlukan oleh manusia
dalam kehidupan yang semakin kompleks dan serba otomaTis, agar manusia dapat
mempertahankan eksistensinya terhindar dari berbagai gangguan atau disfungsi
sebagai akibat penyakit kekurangan gerak (Hypo Kinesis Desease). Olahraga yang
dilakukan dengan tepat dan benar akan menjadi faktor penting yang sangat
mendukung untuk pengembangan potensi dini. Kesehatan, kebugaran jasmani dan
sifat-sifat kepribadian yang unggul adalah faktor yang sangat menunjang untuk
pengembangan potensi diri manusia, dan melalui pendidikan jasmani, rekreasi,
dan olah raga yang tepat faktor-faktor tersebut dapat diperoleh. Melalui
pembinaan olahraga yang sistematis, kualitas SDM dapat diarahkan pada
peningkatan pengendalian diri, tanggungjawah, disiplin, sportivitas yang tinggi
yang mengandung nilai transfer bagi bidang lainnya. Berdasarkan sifat-sifat
itu, pada akhirnya dapat diperoleh peningkatan prestasi olahraga yang dapat
membangkitkan kebanggaan nasional dan ketahanan nasional secara menyeluruh.
Oleh sebab itu, pembangunan olahraga perlu mendapat perhatian yang lebih
proporsional melalui perencanaan dan pelaksanaan sistemiatis dalam pembangunan
nasional.
Hakekat pembangunan olahraga nasional adalah upaya dan kegiatan
pembinaan dan pengembangan olahraga yang merupakan bagian upaya peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang utamanya ditujukan untuk pembentukan watak
dan kepribadian termasuk sifat-sifat disiplin, sportivitas dan etos kerja yang
tinggi. Berdasarkan kualitas kesehatan akan tercapai peningkatan prestasi
olahraga yang dapat membangkitkan kebanggaan nasional dan membawa nama harum
bangsa. Penyelenggaraan pembangunan olahraga nasional utamanya didasarkan pada
kesadaran serta tanggungjawah segenap warga negara akan hak dan kewajibannya
dalam upaya untuk berpartisipasi guna peningkatan kualitas sumber daya manusia,
melalui olahraga sebagai kebiasaan dan pola hidup, serta terbentuknya manusia
dengan jasmani yang sehat, bugar, memiliki watak dan kepribadian, disiplin,
sportivitas, dan dengan daya tahan yang tinggi akan dapat meningkatkan
produklivitas, etos kerja dan prestasi. Pembangunan olahraga selama ini
dilaksanakan lewat dua jalur. Jalur pertama adalah melalui jalur pendidikan,
yang penyelengaraannya dikoordinasikan oleh Depdiknas, dan kedua adalah
pembangunan olahraga lewat jalur masyarakat yang penyelengaraannya selama ini
di koordinasikan oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), sebagai
organisasi yang mewakili unsur masyarakat.
Pembangunan olahraga lewat jalur pendidikan atau sekolah dikenal
dengan istilah pendidikan jasmani (physical education) ditempuh dengan cara
memasukkan muatan pendidikan jasmani ke dalam satuan pelajaran pada setiap
jalur dan jenjang pendidikan, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi baik
intra maupun ekstrakurikuler. Sedangkan pelaksanaan pembangunan olahraga lewat
jalur masyarakat, ditempuh melalui serangkaian kegiatan yang serasi untuk
tujuan peningkatan prestasi meliputi, pemasalan, pemanduan bakat, pembibitan
calon atlet, pembinaan atlet, serta peningkatan prestasi atlet. Keseluruhan
kegiatan itu membutuhkan dukungan iptek keolahragaan.Sesuai dengan
Undang-Undang No 25 tahun 2000, ada empat program pemerintah yang akan
dilaksanakan dalam upaya pembangunan olahraga nasional yaitu: Pertama, Program
Pengembangan dan keserasian Kebijakan Olahraga; Kedua, Program Pemasyarakatan
Olahraga dan Kesegaran Jasmani; Ketiga, Program Pemanduan Bakat dan Pembibitan
Olahraga; Keempat, Program Peningkatan Prestasi Olahraga. Pelaksanaan
program-program pembangunan tersebut dilakukan secara merata, sistematis dan
terpadu untuk seluruh lapisan masyarakat di seluruh tanah air dengan
menyesuaikan kondisi geografi dan budaya bangsa, serta melibatkan seluruh
potensi dan kekuatan bangsa sehmgga dapat diwujudkan suatu keluarga,
masyarakat, dan bangsa yang memiliki kemampuan olahraga yang tangguh, yang pada
akhirnya dapat meningkatkan mutu kehidupan dan prestasi olahraga di tingkat
nasional, regional maupun internasional.
Berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam
pembangunan olahraga dewasa ini, secara umum dapat dikelompokkan dalam
kaitannya dengan bidang pendidikan jasmani olahraga itu sendiri.Sejalan dengan
kebijakan nasional yang akan ditempuh dibidang olahraga, maka permasalahan akan
dirumuskan dalam kaitannya dengan empat (4) tema utama program pembangunan
olahraga nasional yang tertuang di dalam propenas, adalah sebagai berikut:
1. permasalahan dalam
kaitannya dengan pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga. Masalah paling
kritis dalam pembangunan olahraga nasional dewasa ini adalah ketidak mampuan
seluruh instansi keolahragaan untuk melaksanakan upaya pembinaan yang
berlandaskan pada sebuah sistem manajemen yang mantap, yang ditandai dengan
adanya interkoneksitas dan keterpaduan segenap unsur terkait secara nasional.
Selama ini, perumusan dan pelaksanaan kebijakan olahraga bersifat
semi-independen yang dilaksanakan melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga
sebagai wakil pemerintah, dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI),
beserta induk-induk olahraga yang ada sebagai unsur masyarakat. Di sisi lain
kinerja dari kedua institusi tersebut terbukti memang belum mampu mewujudkan
adanya keserasran dalam penerapan kebijakan di bidang keolahragaan, yang pada
akhirnya berujung pada lemahnya proses pembinaan dan tidak tercapainya
target-terget yang diharapkan dalam pembinaan keolahragaan nasional. Sejalan
dengan desentralisasi pembangunan, titik berat pelaksanaan pembangunan
olahraga, tidak hanya bergeser dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi
juga harus lebih mengarah pada pemberdayaan dan pembangkitan partisipasi
masyarakat, sementara pemerintah lebih bergerak sebagai fasilitatordan
motivator. Dengan semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan nasional yang
harus dihadapi di bidang keolahragaan dewasa ini, tuntutan akan adanya
pengembangan dan keserasian sistem manajemen kebijakan nasional dan
keorganisasian, dalam arti luas, yang menyangkut perencanan, koordinasi,
pendayagunaan sumber daya yang ada sampai pada evaluasinya, menjadi suatu hal
yang mutlak harus dilaksanakan. Kehadiran Direktorat Jenderal Olahraga
diharapkan mampu menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam
kaitannya dengan pengembangan kebijakan dan keserasian dalam implementasi kebijakan
olahraga tersebut.
2. permasalahan dalam
kaitannya dengan pemasyarakatan olahraga dan kesegaran jasmani. Selama ini,
masyarakat merupakan potensi utama dalam mendukung dan memacu peningkatan
kemajuan olahraga nasional belum diberdayakan secara optimal. Dengan kondisi
kesegaran jasmani masyarakat termasuk generasi muda hingga dewasa ini yang
masih belum memadai seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu, perlu semakin
didorong peransertanya dalam membangun kemandiran olahraga antara lain melalui
perumusan kebijakan yang lebih mengarah pada upaya untuk memfasilitasi dan
memotivasi masyarakat untuk lebih menghidupkan klub-klub olahraga prestasi,
memantapkan gerakan olahraga massal, olahraga pendidikan (pendidikan jasmani)
serta olahraga rekreasi. Upaya Melestarikan olahraga tradisional, pengelolaan
olahraga khusus dan olahraga rehabilitasi.
3. permasalahan dalam
kaitannya dengan pemanduan bakat dan pembibitan olahraga. Berdasarkan
ukuran-ukuran internasional, kinerja program pemanduan bakat dan pembibitan
olahraga yang dilaksanakan di Indonesia masih kurang sistematis yang berbuah
pada ketidak mampuan atlet-atlet Indonesia dalam cabang olahraga tertentu untuk
mampu bersaing di tingkat internasional. Oleh sebab itu, perlu diciptakan model
dan perencanaan program pamanduan bakat dan pembibitan yang lebih sistematis
dan terpadu, guna mendukung pembinaan yang berjenjang dan berkesinambungan,
melalui penerapan metoda yang tepat dengan memanfaatkan iptek olahraga.
Selanjutnya bibit-bibit olahragawan berbakat yang berhasil diindetifikasi perlu
dibina melalui pusat pembinaan seperti PPLP dan PPLM. Pada saat ini, secara
keseluruhan, pembinaan olahraga masih bersifat sporadis dan kurang didasarkan
pada orientasijangka panjang, suatu kondisi yang bertentangan dengan kenyataan,
bahwa pencapaian prestasi olahraga memerlukan waktu cukup panjang antara 10-12
tahun untuk dapat mencapai puncak usia prestasi, sesuai dengan watak olahraga
masing-masing.
4. permasalahan dalam
kaitannya dengan prestasi olahraga. Permasalahan yang cukup serius dihadapi
dalam masalah ini adalah lemahnya landasan pembinaan yang selama ini
dilaksanakan lewat pendidikan jasmani, disertai dengan dukungan partisipasi
masyarakat masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu, pendidikan jasmani
perlu dikembangkan secara intentisif dan komprehensif dengan memperhatikan
komponen kurikulum, guru, sarana dan prasarana. Sedangkan, proses pembinaan
dengan model piramid yang berkesinambungan dari usia dini, yunior, hingga atlet
senior, juga kurang terwujud misalnya Proyek Garuda Emas.
Dengan mempertimbangkan permasalahan-permasalahan di atas, maka
tantangan pembangunan olahraga untuk kurun waktu lima tahun kedepan adalah
sebagai berikut:
1. dalam kaitannya dengan pengembangan dan
keserasian kebijakan olahraga, adalah bagaimana mengupayakan langkah-langkah
untuk terciptanya sistem koordinasi antar unit terkait baik di tingkat pusat
sampai tingkat daerah sehingga dapat mewujudkan adanya keserasian dalam perumusan
kebijakan olahraga.
2. dalam kaitannya dengan pemasyarakatan
olahraga dan kesegaran jasmani, adalah bagaimana mendorong partisipasi aktif
masyarakat agar lebih peduli dengan kegiatan olahraga dan kemaslahatan yang
diperoleh, seperti kondisi kesehatan paripurna, dan dampak pengiring lainnya
seperti peningkatan produktif vitas. Kegiatan kesegaran jasmani melalui
penerangan/penyuluhan yang sistematis dengan lebih menggelorakan panji olahraga
yaitu "Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat".
Selain itu, bagaimana meningkatkan dukungan masyarakat dalam pembinaan olahraga,
terutama dalam kaitannya dengan penggalian sumber-sumber dana dari masyarakat
secara legal dan transparan, sehingga kebutuhan akan sarana dan prasarana olahraga
dapat dipenuhi.
3. dalam kaitannya dengan pemanduan bakat dan
pembibitan olahraga adalah bagaimana menciptakan suatu sistem pemanduan bakat
dan pembibitan olahraga baik lewat jalur sekolah maupun lewat jalur prestasi
olahraga dengan didukung oleh tenaga-tenaga yang profesional dan penanganan
yang terpadu.
4. dalam kaitannya dengan prestasi olahraga adalah
bagaimana meningkatkan daya saing Indonesia dalam event-event olahraga baik di
tingkat regional dan internasional sehingga memberikan citra dan nama bangsa
yang lebih baik di mata internasional. karena akhir-akhir ini olahraga kita
terpuruk baik tingkat regional dan Internasional.
Baru sebagian masyarakat Indonesia yang menyadari olahraga sebagai sebuah
kebutuhan. Kesadaran ini belum merata di semua lapisan masyarakat. Penyebabnya
bukan ketidaktahuan akan manfaat olahraga namun lebih karena kebiasaan dan gaya
hidup serta perbedaan cara pandang tentang olahraga.
Pergeseran orientasi terhadap jenis dan nilai
olahraga terjadi akibat perubahan dalam gaya hidup. Pertama, gaya hidup yang
berorientasi mengejar kesenangan dan kenyamanan fisik berpengaruh nyata
terhadap perubahan kultur gerak. Banyak karyawan atau pekerja kantoran
menghindari naik turun tangga. Mereka lebih suka menggunakan lift. Pada masa
usia dini, "kenyamanan" pun secara tidak sadar ditanamkan. Alih-alih
harus berjalan kaki, anak-anak berangkat ke sekolah dengan menggunakan
kendaraan antar jemput. Kedua, pergeseran gaya hidup pun memengaruhi masyarakat
dalam memandang olahraga. Berolah raga kini tidak selalu dikaitkan dengan
kompetisi dan prestasi, tetapi juga karena tujuan lain, terutama sebagai gaya
hidup. Itulah sebabnya, klub-klub senam kebugaran, pengobatan, dan kemolekan
tubuh marak di mana-mana dan lebih populer dibandingkan senam ritmik dan cabang
prestasi lainnya. Ketiga, pilihan jenis dan tujuan olah raga pun bergeser.
Orientasi olahraga yang langsung atau tidak langsung bersifat ekonomi tumbuh
semakin tajam. Orientasi ekonomi langsung, terlihat pada "perkawinan"
antara olahraga dengan ekonomi. Olahraga pun kini memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan dalam dua dekade terakhir, ekonomi
olahraga tumbuh dengan eskalasi makin besar. Kontribusi olahraga bagi
pertumbuhan ekonomi tampak dalam pengembangan industri olahraga. Di negara maju
olahraga sudah terindustrialisasi secara masif. Perubahan struktur ini juga
diikuti dengan penanaman nilai-nilai profesionalisme secara ketat. Semakin
besar nilai, kontrak, misalnya, semakin berat beban profesionalisme sang atlet.
Ternyata, industrialisasi olahraga pun mengalami
globalisasi. Seperti juga di bidang lain di luar olahraga, globalisasi industri
olahraga pun membuat bangsa kita tergagap. Kita tidak siap bersaing dan hanya
menerima luberan pengaruh kultur olahraga pada skala global. Nilai
profesionalisme pun mulai ditanamkan di kalangan atlet nasional, meski tidak
utuh seperti yang berlaku pada masyarakat yang industri olahraganya sudah maju.
Namun gejala umum berlaku dalam dunia olahraga kita adalah bahwa ternyata
perubahan stuktur (seperti aturan transfer) tidak selalu diikuti kultur
profesional. Itulah sebabnya, tawuran kerap terjadi pada ajang yang mengusung
bendera profesionalisme. Pengaruh olahraga terhadap ekonomi juga bisa bersifat
tidak langsung. Olahraga telah mengurangi beban pengeluaran masyarakat dalam
aspek kesehatan. Derajat kebugaran jasmani dan kesehatan yang baik akan
menurunkan biaya perawatan kesehatan, dan malah meningkatkan produktivitas
kerja. Dalam konteks pembangunan Nasional, pembinaan olahraga diharapkan
memberikan daya ungkit (leverage) bagi pencapaian target pembangunan
masyarakat. Meski tidak langsung, daya ungkit olahraga bagi pencapaian
Akselerasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Guna Mendukung Program
Pemerintah Pusat 2010 diyakini akan signifikan. Pencapaian visi dan misi
pemerintah Pusat membutuhkan dukungan semua pihak. Pada sisi ini, derajat
kesehatan aparatur dan masyarakat yang baik secara tidak langsung akan
berdampak terhadap peningkatan kinerja dan kualitas penyelesaian tugas.
Bagaimanapun peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia
Indonesia, pengembangan struktur perekonomian Nasioanl yang tangguh, dan
pemantapan kinerja pemerintah daerah membutuhkan dukungan aparatur yang sehat.
Demikian pula dengan peningkatan implementasi pembangunan berkelanjutan dan
peningkatan kualitas kehidupan sosial yang berlandaskan agama dan budaya
Nasional membutuhkan dukungan masyarakat yang sehat secara fisik dan mental.
Pemberdayaan masyarakat Olahraga telah lama
menjadi instrumen pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa.Peran ini bukan hanya
diperlihatkan dalam ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) I yang terkesan heroik,
tetapi juga diperlihatkan dalam berbagai even olahraga yang digelar sebelumnya.
Kini, lingkungan strategis olahraga telah berubah. Tantangan yang dihadapi
bangsa-bangsa bukan melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, tetapi memacu
persaingan dan mengejar kesetaraan dalam hubungan antarbangsa. Dalam lingkup
global, terjadi peningkatan kesadaran akan saling ketergantungan antarbangsa
melalui difusi kultur olahraga. Dalam konteks ini, permasalahan sistem
keolahragaan nasional tidak terlepas dari tekanan politik, ekonomi, dan budaya
global. Kita tak akan bergeser dari komitmen lama untuk menempatkan olahraga
sebagai bagian integral dari pembangunan. Dengan demikian, olahraga ditempatkan
bukan sekadar merespons tuntutan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya, tetapi
ikut bertanggung jawab untuk memberikan arah perubahan yang diharapkan.
Keteguhan terhadap komitmen tersebut didukung oleh begitu banyak fakta dan
pengalaman bahwa olahraga yang dikelola dan dibina dengan baik akan mendatangkan
banyak manfaat bagi warga masyarakat. Seperangkat nilai dan manfaat dari aspek
sosial, kesehatan, ekonomi, psikologis dan pedagogis merupakan landasan yang
kuat untuk mengklaim bahwa olah raga merupakan instrumen yang ampuh untuk
melaksanakan pembangunan yang seimbang antara material, mental, dan spiritual.
Dari aspek sosial diakui bahwa olahraga merupakan sebuah aktivitas yang unik
karena sangat potensial untuk memperkuat integrasi sosial. Secara bertahap dan
bersusun dari unit kecil (misalnya, klub), komitmen emosional pada satu tujuan
bersama dapat meningkat ke tingkat komunitas, masyarakat sebuah daerah hingga
ke jenjang nasional. Itulah sebabnya olahraga, seperti yang sering kita alami
dalam olahraga kompetitif, dipandang ampuh untuk membangun persatuan dan
kesatuan nasional.
Sementara dalam skala nasional, perubahan
paradigma pembangunan nasional ke arah desentralisasi diikuti pula perubahan
dalam kebijakan pembinaan olahraga yang searah dengan demokratisasi dalam
segala bidang. Pembinaan olahraga akan lebih banyak melibatkan partisipasi dan
prakarsa masyarakat. Perubahan ini semestinya diikuti oleh pemberdayaan
masyarakat di bidang olahraga.yang seperti tertuang dalam Undang-undang
Keeolahragaan No 03 2005. Selaras dengan semangat zaman, derajat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan olahraga akan menentukan postur dan kemajuan
pembangunan olahraga suatu daerah. Masyarakat bukan hanya perlu didorong dalam
menjadikan olahraga sebagai kebutuhan, tetapi juga mengambil peran dalam
memajukan olahraga daerah. Pembangunan olahraga yang bertumpu pada peran serta
masyarakat dulu telah dicoba dalam kemasan gerakan memasyarakatkan olahraga dan
mengolah ragakan masyarakat. Gerakan ini memerlukan revitalisasi sehingga
menjadi focal concern baru. Hal ini bukan tidak mungkin, karena tekanan hidup
menuntut masyarakat mengubah pola hidup. Pilihan pola hidup sehat dapat menjadi
solusi di saat krisis. Tentu saja kebijakan ini memerlukan instrumen
pendukungnya.
Pembangunan sarana prasarana olahraga selain
harus memperhatikan sebaran demografis juga tidak melupakan kebutuhan
penyediaan pelayanan olahraga bagi anggota masyarakat yang memiliki
keterbatasan khusus. Pengembangan pelayanan olahraga untuk untuk kelompok
khusus, terutama untuk orang cacat masih membutuhkan peningkatan dalam berbagai
aspek. Untuk pembinaan kelompok khusus ini, kita masih kekurangan tenaga
pembina yang kompeten maupun sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan
pembinaan.
Sedangkan dalam hal pembinaan olahraga prestasi perlu didukung peningkatan
sarana prasaran olahraga dan sumberdaya manusia yang kompeten. Pembinaan
olahraga prestasi diletakkan di atas landasan pendidikan jasmani dalam berbagai
jenis dan jenjang pendidikan. Pembinaan dilakukan dengan memperhatikan beberapa
kecenderungan berikut. Pertama, introduksi dan penerapan teknologi olahraga
untuk mendorong efisiensi pembinaan olahraga prestasi. Sayangnya industri
olahraga dalam negeri baru sebatas memperoleh hak paten untuk memproduksi
peralatan olahraga. Hal ini menunjukkan betapa tertinggalnya riset dan
pengembangan dalam bidang keolahragaan, baik di perguruan tinggi maupun di
lembaga riset swasta dan milik pemerintah. Prioritas riset dan pengembangan
bisa diletakkan dalam upaya reservasi jenis olah raga tradisional yang menjadi
bagian dari pranata sosial budaya masyarakat namun mulai ditinggalkan
pendukungnya. Selain itu, riset dan pengembangan pun perlu diarahkan pada
penyediaan peralatan dan perlengakapan olaharaga sehingga tidak sepenuhnya
bergantung kepada produk luar negeri yang mahal. Pemajuan aspek-aspek di atas
membutuhkan keterlibatan semua pihak. Tidak hanya keterlibatan jajaran
pemerintahan daerah, tetapi juga keterlibatan dan prakarsa para pengusaha,
tokoh masyarakat, dan elemen lain. Sudah saatnya prestasi Nasioanl beranjak
pada level yang lebih bergengsi. Hal ini bukan perkara yang absurd, mengingat
potensi yang dimiliki masyarakat Indonesia lebih dari memadai. Bukan hanya
potensi atlet, tetapi juga potensi dalam pembinaan. Karena itu, kata kunci
keemajuan olahraga nasional adalah membangun sinergi,dalam menjadikan olahraga
sebagai budaya masyarakat dan pembinaan olahraga prestasi Nasional.Ancaman yang
dibangkitkan oleh gaya hidup pasif, mendatangkan persoalan yang sangat
merugikan kehidupan manusia dengan aneka bentuk penyakit degeneratif, penyakit
kurang gerak. Obesitas, alias kegemukan, sudah menjadi sebuah masalah
internasional dengan rangkaian akibat yang terkait langsung seperti terserang
penyakit jantung koroner, diabetes melitus, kolesterol tinggi, dan lain yang
sejenis.
Olahraga dan kesehatan memiliki kaitan langsung
dengan ekonomi. Kita dapat belajar dari pengalaman Australia. Di sana,
kesehatan dan olahraga sudah mengakar. Setiap peningkatan partisipasi penduduk
dalam berolah raga hingga 5% akan mengurangi anggaran perawatan kesehatan
sebesar 439 juta dolar. Secara umum pernah diungkapkan oleh sebuah riset, bahwa
investasi sebesar 1 dolar untuk aktivitas jasmani atau olahraga akan menghemat
biaya perawatan kesehatan sebesar 3,2 dolar. Dari aspek kejiwaan, olahraga atau
aktivitas jasmani yang dilakukan hingga intensitas memadai, moderat, sangat
efektif sebagai wahana untuk meningkatkan ketahanan terhadap stres dan
menanggulangi depresi. Dari aspek ekonomi, data yang diperoleh misalnya dari
Korea dan Australia menunjukkan prospek olahraga yang sangat positif untuk ikut
serta meningkatkan ekonomi melalui beberapa segmen industri olah raga, di
antaranya peralatan dan perlengkapan serta konstruksi fasilitas olahraga. Melalui
pendekatan pembelajaran keterampilan taktis misalnya, diketahui bahwa
pendidikan jasmani dan olahraga efektif untuk membina keterampilan berpikir
kritis dan kreatif. Karena itu, para peneliti sampai pada kesimpulan bahwa
aktivitas jasmani atau olahraga sangat bermanfaat untuk memupuk kemampuan memecahkan
masalah.
Tentunya kita sepaham bahwa pendidikan jasmani
merupakan peletak dasar untuk segala aspek meliputi fisik, mental, intelektual,
sosial, dan emosional spiritual. Kecakapan berolahraga di sepanjang hayat untuk
mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat, memerlukan pembekalan
keterampilan sejak awal. Kita dapat menilai seberapa jauh kultur olahraga sudah
berkembang di suatu masyarakat atau negara bergantung pada kebiasaan mengisi
waktu luang dengan aktivitas jasmani secara aktif. Dalam kaitan ini maka antara
olahraga masyarakat (rekreasi), selalu ada interaksi dengan olahraga
kompetitif-prestasi dalam suasana saling mendukung dan menunjang. Dengan
berdirinya Menpora sekarang ini, kegiatan utama yang perlu dilaksanakan ialah
memperkuat kesisteman yang sudah dirintis dalam sejumlah wilayah kunci yang
menjadi fokus pemecahan. Karena itu, sangat dibutuhkan sebuah dokumen yang
kukuh tentang "Arah Strategis dan Manajemen Pembangunan Keolahragaan
Nasional", yang kemudian berfungsi sebagai pemberi arah dan sekaligus
sebagai alat untuk memantau perubahan dan perkembangan program. Dalam
pengembangan rencana strategis, perlu diperhatikan beberapa kaidah seperti
prinsip inklusif yang menekankan keikutsertaan semua warga masyarakat melalui
pemberian kesempatan dan akses untuk berolahraga. Perlu diupayakan lingkungan
yang sehat dan aman, layanan yang mudah diperoleh, manajemen yang transparan,
dan akuntabel serta penerapan sistem pengukuh berupa penghargaan dan penciptaan
rasa aman di kalangan pelatih dan atlet.
Komitmen untuk melaksanakan dan menyepakati arah
strategis pembangunan keolahragaan nasional itu diperkuat oleh komunikasi dan
koordinasi, selain mesti terjamin sisi keberlanjutannya. Berdasarkan paparan
singkat itu sangat jelas bahwa subsistem pendidikan jasmani atau olahraga
pelajar/mahasiswa tidak boleh terbengkalai pembinaannya dan termasuk ke dalam
kebijakan umum. Olahraga masyarakat (rekreasi) merupakan kegiatan
"penyedap" dan penggairah dalam rangka membangun kembali vitalitas
hidup. Kegiatan itu ikut serta membangun sebuah mood kejiwaan yang sehat. Sama
sekali tak dapat diabaikan perkembangan dan trend olahraga kompetitif untuk
berprestasi meskipun ada ayunan perubahan yang mengarah kepada perolehan
keuntungan yang bersifat material; ada pergeseran dari amateur ke profesional,
paling tidak di tubuh Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang dirintis semasa
kepemimpinan Presiden IOC, Juan Antonio Samaranch. Banyak negara, meski dengan
jumlah penduduk sedikit, mampu berprestasi dalam olahraga, seperti yang diraih
oleh Australia dalam Olimpiade Sydney 2000 dan Olimpiade Athena 2004.
Jawabannya, sebagian karena faktor penentu berupa tingkat kepuasan hidup.
Kemerosotan Rusia misalnya, lebih banyak karena keterbatasan dana untuk
mengoperasionalkan sistem. Mereka bisa sekadar bertahan untuk memelihara sistem
yang sudah mantap, tetapi sukar untuk mencapai hasil optimal karena faktor
ekonomi. Mungkin tanpa kita sadari, pada tataran lingkungan yang lebih luas ada
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap arah, isi dan bahkan cara mengelola
olahraga. Sistem politik mempengaruhi model pembinaan dan institusi yang
menanganinya. Sistem ekonomi memengaruhi struktur pembiayaan yang terkait
dengan kemampuan kita mempertahankan kesinambungan sistem.
Struktur
pendidikan memengaruhi seberapa banyak peluang dan keterlaksanaan pendidikan
jasmani yang menjadi dasar bagi perkembangan olahraga. Jumlah penduduk
berpengaruh terhadap jumlah anak dan kaum muda sebagai calon olahragawan
sehingga penduduk yang besar seperti di Indonesia merupakan sebuah aset yang
luar biasa nilainya. Jadi dibutuhkan upaya, seiring dengan pendidikan, untuk
mengubah faktor penduduk bukan sebagai beban tetapi sebagai modal. Tanpa
aspirasi yang kental terhadap olahraga, maka suatu daerah sulit berkembang
dalam olahraga. Seberapa efektif mekanisme penelusuran dan promosi bakat telah
dilaksanakan yang berarti kegiatan di klub usia dini dan olahraga di sekolahan
merupakan tempat menyemai bibit-bibit. Komponen itu akan berkembang subur bila
didukung oleh komponen pelatihan yang semakin membaik, seperti halnya struktur
kompetisi yang semakin kuat ditinjau dari volume atau kekerapan pelaksanaan,
termasuk kualitasnya.
Namun demikian, unsur pelatih termasuk kualifikasinya sangat menentukan.
Pelatihan yang berbasis pengetahuan dan teknologi merupakan alternatif yang tak
bisa ditawar-tawar. Adalah sebuah mimpi untuk tetap mempertahankan hegemoni
(misalnya di kawasan ASEAN) atau menerobos prestasi olimpiade tanpa pelatih
yang andal dan dukungan lab beserta para ahli pendukung terkait seperti
biomekanika dan psikologi olah raga, selain aspek sport medicine.
Dari sisi struktur venues atau sarana dan prasarana olahraga, kita di Indonesia
sangat lemah baik dari sisi jumlah maupun mutu, sehingga tidak memungkinkan
untuk dapat dikembangkan standar pelatihan bermutu tinggi. Untuk bisa bersaing
di tingkat internasional, sudah tak mungkin lagi pelatihan dilakukan secara
sambil lalu atau paruh waktu. Model-model pelatihan mutakhir menuntut volume
pelatihan yang besar dan penempatan pelatihan secara terpadu.
Atas dasar alasan inilah, Australia memiliki 8 sentra pelatihan, Spanyol 31,
Prancis 21 dan AS yang berbasis pada sekolah dan universitas mendirikan
"Olympic Training Camp" di Colorado.
Kita di Indonesia merintis pendirian sentra ini seperti pendirian Pusat
Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) sebanyak 93 buah dan Pusat Pendidikan dan
Latihan Mahasiswa (PPLM) sebanyak 15 buah yang tersebar di seluruh Indonesia. Embrio
dari pusat pelatihan daerah (PPLD) yang idealnya ada di setiap provinsi, juga
masih memerlukan pembenahan. Konsep dasarnya ialah bagaimana mengintegrasi
kegiatan pelatihan dan pendidikan secara serasi yang didukung oleh logistik.
Menyedihkan sekali nasib mantan atlit ini yakni
Abdul Madjid, sprinter 100 meter dan 200 meter pada tahun 1960-an asal
Kalimantan Selatan,Ubannya memutih dan bentuk tubuhnya sudah berubah, bertambah
gemuk. Dalam usianya sudah mencapai 60 tahun, ia belum berkeluarga dan masih
tinggal di rumah kontrakan. Untuk mencari nafkah ia menjual tenaganya sebagai
buruh di Pelabuhan Tri Sakti. Masih banyak Madjid lainnya yang senasib. Tata
latar inilah yang mendorong Ditjen Olahraga pada dua tahun terakhir ini
mengembangkan sistem penghargaan dalam bentuk program konseling karier atlet. Di
Australia disebut program Pendidikan Karier Atlet (PKA). Motonya: Kita tak
mampu memberi ikannya, tetapi hanya dapat memberi kailnya. Itulah masalah yang
masih tersisa dan tak akan pernah tuntas penyelesaiannya karena selalu terjadi
perubahan dinamis. Semoga Pak Menteri Pemuda dan Olahraga diberi kekuatan untuk
mengatasi masalah olahraga yang justru dapat mendatangkan maslahat bagi bangsa.
Kita perlu memberikan dukungan yang tulus kepadanya beserta jajarannya
Jakarta, (tvOne)
Menteri Negara Pemuda dan Olah raga (Menpora), Andi Mallarangeng
mengatakan, pembinaan olah raga, baik olah raga prestasi, pendidikan dan
rekreasi harus Melibatkan unsur ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). "Dengan
IPTEK kita akan lebih mudah memantau perkembangan atlet secara keilmuan. Sistem
ini sangat diperlukan," katanya usai pemberian bantuan Penguatan Laboratorium
IPTEK olah raga 2009 di Jakarta, Kamis (19/11).
Menurutnya, khusus untuk pembinaan atlet olah raga prestasi, diperlukan
dukungan dari semua pihak termasuk kalangan yang konsen pada pendidikan
olahraga. Dengan dibangunnya laboratorium olah raga di daerah-daerah pada
perguruhan tinggi, akan lebih mudah memantau perkembangan pembinaan atlet. "Dengan
IPTEK, kemampuan olahragawan bisa diukur secara keilmuan. Dengan demikian
pembinaan akan lebih efisien dan diharapkan mampu mendapatkan hasil yang maksimal,"
katanya menambahkan. Ia menjelaskan,
guna mendukung hal tersebut pihaknya memberikan bantuan alat-alat laboratorim
olah raga yang diharapkan bisa mendukung pembinaan atlet terutama di daerah
daerah. Laboratorium olah raga telah dikembangkan sejak tahun 2006.
Laboratorium itu dibangun di beberapa perguruhan tinggi dan sekolah menengah
atas di Indonesia.
Periode 2006-2008, laboratorium olah raga telah dikembangkan di
antaranya Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Jakarta, Universitas
Negeri Malang, dan Universitas Negeri Surabaya. Untuk tingkatan sekolah
menengah yang telah mengembangkan laboratorium olah raga di antaranya SKO
Ragunan dan SMAN olah raga Sidoarjo, Jawa Timur. Tahun 2009 institusi yang telah melakukan
pengembangan dan penguatan laboratorium olah raga di antaranya Universitas
Negeri Jakarta, Universitas Airlangga Surabaya, SKO Ragunan, IKIP PGRI
Samarinda dan Universitas PGRI NTT. (Ant)
3. Olahraga Butuh
Sentuhan Presiden
Haryanto Tri Wibowo
Tidak bisa dipungkiri, olahraga menjadi salah satu komoditi atau
aset berharga suatu negara. Bayangkan betapa meriahnya saat Stadion Utama
Gelora Bung Karno menggelar putaran final Piala Asia pada 2007 silam. Lihat
juga ketika bendera Indonesia dikibarkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan
di negara lain saat petinju juara dunia kelas bulu WBA Chris John atau saat
pasangan bulu tangkis ganda putra nomor satu dunia Markis Kido/Hendra Setiawan
menjuarai pertandingan.
Dari segi pendongkrak ekonomi negara bisa dicontohkan saat perhelatan
tenis Wismilak atau Commonwealth Classic, yang diadakan di Bali. Salah satu
ajang tenis kaliber dunia tersebut mampu membangkitkan pariwisata di Bali,
setelah sempat kolaps. Dari beberapa contoh di atas, tidak bisa dipungkiri
olahraga menjadi salah satu sektor yang perlu diperhatikan pemerintah.
Ironisnya, dalam beberapa tahun terakhir, prestasi olahraga Indonesia cenderung
terus menurun. Bahkan di sektor andalan Indonesia, seperti bulu tangkis, tim
Merah Putih selalu merana dalam berbagai ajang. Ada beberapa hal yang harus dibenahi. Yang
paling utama jelas adalah melakukan singkronisasi atau menyelesaikan masalah
Pelatnas yang dikeluarkan KONI/KOI dengan Program Atlet Unggulan (PAL) yang
dikeluarkan Kemenegpora. Pasalnya jika
hal ini terus berlanjut, pembinaan atlet-atlet tidak akan berjalan dengan
sempurna, bahkan bisa terpuruk. Bagaimana bisa memajukan olahraga bangsa jika
ada dua ’kepala’ dengan dua pola pikir yang berbeda?
Hal lain yang diperhatikan adalah mengenai masalah dana. Masalah
ini tidak terlepas dari ricuh PAL dan Pelatnas. Bayangkan, dana Pelatnas yang
diperuntukkan persiapan jelang Sea Games Laos, Desember mendatang, telat cair,
dikarenakan Menegpora sebelumnya hanya mengajukan anggaran PAL ke Departemen
Keuangan dan tanpa disertai anggaran Pelatnas. Pelatnas terpaksa berjalan
dengan mengandalkan dana dari daerah. Tidak ada prestasi yang instan, semuanya
harus ada proses pembinaan sejak dini. Dan hal tersebut yang harus menjadi
perhatian khusus presiden Indonesia . Masalah dana memang masih menjadi faktor
utama. Ironis memang, bagaimana Indonesia bisa berprestasi tanpa adanya
dukungan yang penuh dari pihak pemerintah, khususnya masalah dana. Terlebih
fasilitas olahraga di Indonesia yang masih sangat memprihatinkan.
Orang-orang tampaknya lebih senang mendirikan mal ataupun pusat
perbelanjaan, daripada sarana olahraga saat ini. Bagaimana bisa pengajuan
Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 diterima Federasi Sepak Bola
Internasional (FIFA), jika fasilitas stadion sepak bola Indonesia masih
mengenaskan? Masalah terakhir yang mungkin harus diperhatikan presiden terpilih
adalah kesejahteraan atlet-atlet berprestasi setelah memasuki masa pensiun.
Jika pemerintah tidak bisa memastikan masa depan atlet berprestasi sejak dini,
dapat dipastikan bibit-bibit muda tersebut enggan menjadi atlet. Itu bisa
disaksikan dengan begitu banyaknya para pemain maupun pelatih bulu tangkis
Indonesia yang menyebrang ke negara lain, demi mendapatkan penghasilan yang
lebih layak.
4. Indonesia Butuh Cetak Biru Pembinaan Olahraga
SEMARANG (Suara Karya)
Dunia olahraga memerlukan cetak biru untuk mengatasi keterpurukan
yang sedang terjadi. Cetak biru itu harus dibuat oleh pemerintah bersama para
pemangku olahraga di Indonesia. "Kita harus membuat cetak biru
pengembangan olahraga nasional untuk mengatasi keterpurukan dan penurunan
prestasi yang sedang terjadi. Ini perlu dibuat karena harus menyesuaikan dengan
poja dan budaya yang dimiliki masyarakat. Pernyatan ini diutarakan Ketua Umum
KOM/KOI Rita Subowo usai menerima gelar doktor kehormatan [honoris causa)
bidang .pendidikan olahraga dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) di
Semarang, Kamis. Undang-Undang Olahraga yang sudah ada belum menjawab semua
kebutuhan tersebut karena belum menyebut pembagian tugas dan porsi kerja
lembaga atau organisasi di bidang ini. Hadir pada acara ini antara lain Agum
Gumelar, Hendardji Supandji, MF Siregar, Siti Hutami Adiningsih, Subiakto
Tjakrawerdaya, serta beberapa rektor perguruan tinggi di Indonesia. Menpora
tidak hadir karena masih berada di Australia bersama Presiden SBY. Promotor
Rita untuk meraih gelar tersebut adalah Prof DR Maman Rachman Msc. Bertindak
selaku kopromotor adalah Prof Dr Hussein Arga-sasmita MA dan Prof Dr Tan-dyo
Rahayu MPd. Ketua KONI Jateng Soediro Atmoprawiro juga hadir di acara tersebut.
Rita menyebutkan, dalam situasi ini tidak penting siapa yang harus
mengambil peran lebih banyak atau lebih sedikit KONI juga tidak harus menjadi
yang terdepan, yang penting semua punya fungsi untuk menjalankan cetak biru
tersebut. "Ini merupakan sebuah ironi yang sangat memprihatinkan karena
berbanding terbalik dengan pertumbuhan pusat perbelanjaan dan bisnis,"
kata Rita Subowo. Olahraga Indonesia dalam satu dekade terakhir sudah
ketinggalan jauh dari negara tetangga seperi Singapura, Thailand, dan bahkan
Vietnam. Di negara tersebut, sarana dan prasarana olahraganya dibangun secara
merata dengan prioritas pembangunan kegiatan olahraga usia dini dan remaja.
Kekurangan dana menurut Rita juga bukan satu-satunya penghalang kemajuan
olahraga prestasi karena kultur dan budaya sebuah negara juga banyak berperan. "Jamaika
dan Kuba bukanlah negara kaya, tapi bisa menghasilkan atlet atletik kelas
dunia. Itu karena ditunjang oleh karakter yang bangga menjadi duta bangsa, dibarengi
disiplin dan komitmen tinggi," katanya.Sementara kemajuan olahraga negara
maju seperi AS dan Jerman lebih ditunjang sistem pembinaan terpadu melalui
pendekatan ilmiah [sport science).
Mengomentari gelar yang dianugeraHkan kepadanya, Rita mengaku sangat
bersyukur karena upayanya selama ini temyata mendapat perhatian dari banyak
orang, termasuk kalangan akademis
Posted
in Olah Raga by Redaksi on
Agustus 28th, 2009
Ambon (SIB)
Pengamat olah raga dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon
Jusak Syaranamual, M.Pd berpendapat, pembinaan olah raga idealnya dipisahkan
dari pemuda, karena kenyataan cenderung diintervensi kepentingan politik. “Ini
kewenangan presiden hasil pemilihan presiden (Pilpres) 8 Juli 2009 dan DPR,
hanya bila berstatus departemen olah raga, maka pembinaan prestasi dan
pembentukkan pengurus tidak diintervensi kepentingan politik,” katanya ketika
dimintai tanggapan di Ambon. Dia mencontohkan, pembentukan pengurus KONI Maluku
periode 2008 – 2013 yang ternyata melanggar Undang-Undang (UU), karena Gubernur
Karel Albert Ralahalu masih dipercayakan menjadi Ketua Umum induk olah raga
tersebut.
“Ini menunjukkan intervensi politik, sehingga UU tidak dipatuhi,” ujar Jusak
seraya menambahkan, Ketua Umum KONI Pusat Rita Subowo yang melantik pengurus
KONI Maluku.
Jusak yang merupakan dosen jurusan olah raga Fakultas Kejurusan dan Ilmu
Pendidikan (FKPI) Unpatti Ambon berkeinginan, Kabinet 2009 – 2014 Departemen
Olah raga sudah mandiri, berarti dipisahkan dari pemuda, sehingga tidak ada
nuansa politik. “Departemen olah raga harus mandiri, barulah bisa meningkatkan
prestasi optimal dan berkesinambungan di masa mendatang,” katanya menegaskan. Jusak
mengemukakan, mandirinya Departemen olah raga, maka secara struktural bisa
mengarahkan pembinaan hingga ke daerah-daerah, karena miliki kepanjangan tangan
pada masing-masing dinas. “Sepanjang masih berstatus Menteri Negara Pemuda dan
Olah raga (Menegpora), pembinaan olah raga, terutama di kalangan pelajar
sebagai ‘aset’ potensial kurang optimal, karena terbatas jaringan koordinasi
dengan dinas-dinas di daerah,” ujarnya. Dia juga mengimbau, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) supaya memberikan perhatian serius bagi pembinaan dan
prestasi olah raga, sehingga Indonesia bisa kembali diperhitungkan, baik di regional
maupun internasional. “Jadi sekiranya saat tahapan kampanye pilpres persoalan
olah raga kurang disingggung, itu tidak berarti setelah terpilih memimpin
Indonesia lima tahun mendatang mengurangi perhatian presiden terpilih terhadap
komoditas olah raga,” kata Jusak Syaranamual.
6. MEMBENAHI SISTEM PEMBINAAN OLAHRAGA KITA
oleh: Agus Mahendra
Keterpurukan olahraga kita
di Busan pada Asian Games XIV yang lalu, telah mendorong penulis untuk
memikirkan sebab-sebabnya. Pokok persoalan yang mengemuka, ternyata terletak
pada kesalahan kita dalam menata sistem pembinaan olahraga kita. Selama ini,
proses pembinaan olahraga kita lebih diwarnai corak potong kompas (crash
program), sehingga tidak pernah memperlihatkan hasil yang konsisten. Kemajuan
mungkin tetap ada, tetapi sulit dipertahankan konsistensinya. Apa yang dapat
penulis pahami, masyarakat olahraga kita masih salah dalam mengimplementasikan
pola pembinaan yang dikatakannya mengikuti pola piramid.
Model pembinaan bentuk segi
tiga atau sering disebut pola piramid seharusnya berporos pada proses pembinaan
yang bersinambung. Dikatakan bersinambung (kontinum) karena pola itu harus
didasari cara pandang (paradigma) yang utuh dalam memaknai program pemassalan
dan pembibitan dengan program pembinaan prestasinya. Artinya, program tersebut
memandang penting arti pemassalan dan pembibitan yang bisa jadi berlangsung
dalam program pendidikan jasmani yang baik, diperkuat dengan program
pengembangannya dalam kegiatan klub olahraga sekolah, dimatangkan dalam
berbagai aktivitas kompetisi intramural dan idealnya tergodok dalam program
kompetisi interskolastik, serta dimantapkan melalui pemuncakan prestasi dalam
bentuk training camp bagi para bibit atlet yang sudah terbukti berbakat.
Dengan demikian,
corak ini dapat dipastikan agak berbeda dari yang ditempuh dalam pembinaan
olahraga di Indonesia umumnya, misalnya program PPLP dan Ragunan, yang biasanya
melupakan arti penting dari program penjas dan program olahraga rekreasi,
tetapi langsung diorientasikan kepada puncak tertinggi dari model piramid. Yang
ada bukan gambar pola piramid, tetapi lebih berupa gambar sebuah pencil (orang
lebih suka menyebutnya sebagai flag pole model yang berarti model tiang
bendera). Secara tradisional, program
pengajaran pendidikan jasmani digambarkan sebagai lantai dasar dari sebuah
segitiga sama kaki, atau yang sering disebut sebagai bentuk piramid. Tepat di
atasnya terdapat program olahraga rekreasi, atau lajim pula disebut program
klub olahraga. Sedangkan di puncak segitiga terletak program olahraga prestasi.
Program
pengajaran pendidikan jasmani adalah tempat untuk mengajarkan keterampilan,
strategi, konsep-konsep, serta pengetahuan esensial yang berkaitan dengan
hubungan antara kegiatan fisik dengan perkembangan fisik, otot dan syaraf,
kognitif, sosial serta emosional anak. Ini berarti bahwa program pendidikan
jasmani yang baik bertindak sebagai dasar yang kokoh dan solid untuk seluruh
program olahraga dan aktivitas fisik di sekolah dan masyarakat.
Pada tahap kedua, program olahraga yang bersifat rekreasi (dalam klub olahraga
sekolah) merupakan upaya pengembangan dan perluasan program pendidikan jasmani
yang sifatnya inklusif untuk semua anak. Pada program rekreasi inilah para
siswa diperkenankan untuk memilih cabang olahraga yang diminatinya, serta
disesuaikan dengan potensi atau bakat dirinya. Program ini di Indonesia lazim
disebut program ekstra-kurikuler, yang seharusnya menyediakan
kegiatan-kegiatan olahraga di luar struktur kurikulum dan program pendidikan
jasmani.
Pada sekolah-sekolah di
negara-negara yang menganut sistem olahraga melalui persekolahan, program
olahraga ekstra-kurikuler ini dikelola oleh klub-klub olahraga yang
dikembangkan di sekolah dengan sistem voluntir dan sekaligus bersifat wirausaha.
Klub tersebut didirikan oleh organisasi sosial yang beragam, dari mulai
perkumpulan orang tua, kepemudaan, klub olahraga murni, hingga para guru penjas
sekolah yang bersangkutan, yang mengelola klubnya dengan format kewirausahaan
bekerja sama dengan pihak sekolah. Dengan format tersebut, para pengelola
menggalang kerjasama dengan sekolah. Mereka mengajukan proposal kepada sekolah
untuk menggunakan fasilitas sekolah, dengan perjanjian kerjasama bagi hasil
atau sewa kontrak; sedangkan pihak pengelola menyediakan program, pelatih,
serta mengelola dana yang dibayarkan anak/siswa anggota klubnya. Dengan
demikian, di sekolah tersebut bisa berdiri bermacam-macam klub olahraga, dari
mulai olahraga individual seperti atletik, senam dan renang, olahraga beregu
seperti cabang permainan (voli, basket, sepak bola, bola tangan), olahraga
beladiri hingga olahraga petualangan atau pencinta alam.
Program yang ditawarkan
oleh klub-klub tersebut bervariasi dari yang sifatnya rekreatif hingga ke
tingkat persiapan untuk memasuki olahraga prestasi. Hal ini biasanya ditunjang
oleh kurikulum pengembangan yang jelas, yang biasanya merupakan pengadopsian
dari sistem pembinaan yang dikembangkan oleh setiap induk organisasi olahraga.
Dengan demikian, pada program klub olahraga ini setiap pesertanya secara jelas
terpetakan posisinya, apakah ia masuk level pemula, level lanjutan, atau level
mahir. Bahkan untuk olahraga tertentu, misalnya pada klub senam, level-level
tersebut diperinci lagi misalnya dengan mengelompokkan pelevelan ini pada
peringkat yang lebih detil: Pemula dibagi ke dalam tiga level (level 1, level
2, dan level 3), Lanjutan dibagi ke dalam 3 level (level 4, level 5, dan level
6), kemudian Mahir juga dibagi ke dalam 3 level, yaitu level 7, level 8, dan
level 9. Sedangkan di atas itu semua, level 10 mewakili tingkat senior
Dengan sistem semacam itu, yang mana setiap
level menunjukkan tingkat penguasaan keterampilan tertentu yang juga sudah
ditentukan, akan cukup jelas kapan siswa dapat meningkat atau memperbaiki levelnya
ke level berikut, serta persyaratan kompetensi apa yang harus dilewatinya
melalui sebuah mekanisme ujian kenaikan tingkat atau melalui kejuaraan. Di
samping itu, cukup jelas juga kewenangan pelatih dan penguji (wasit), yang
untuk mampu menjalankan fungsinya pada level tertentu pun harus pula memiliki
kompetensi dan kewenangan pada peringkat tertentu, apakah ia pelatih atau wasit
pemula, pelatih atau wasit lanjutan, atau termasuk pelatih atau wasit tingkat
mahir (nasional) dan bahkan tingkat internasional. Tidak
kalah pentingnya dari sistem yang diberlakukan pada klub-klub sekolah di atas
adalah (menciptakan) sistem kompetisi yang teratur dan tersistem. Kompetisi
merupakan sebuah kewajiban bagi klub yang ada di sekolah, untuk minimal
menyelenggarakan kompetisi antar kelas di lingkungan sekolah tersebut, atau
lajim di sebut program intramural. Bahkan kalau mungkin klub yang bersangkutan
mampu (menciptakan) menyelenggarakan program kompetisi ekstramular (antar
sekolah) melalui cara kerja sama dengan klub cabang olahraga sejenis yang ada
di sekolah-sekolah lain untuk bertindak sebagai penyelenggara. Sifat kompetisi
dirancang dalam format yang sangat sederhana, sehingga tidak perlu mengeluarkan
biaya tinggi, tetapi mampu membangkitkan nilai kebanggaan pada para pesertanya,
serta yang paling penting adalah dimanfaatkannya kompetisi itu sebagai ajang
untuk membina nilai dan sifat-sifat luhur keolahragaan bagi para peserta.
Dengan demikian, siswa mampu menyelami dan menginternalisasi nilai-nilai
sportivitas, fair play, kejujuran, semangat pantang menyerah, menghargai
keunggulan diri sendiri dan lawan, serta membina semangat kerja sama, korp,
serta menjunjung sikap hormat pada orang lain. Pada tataran terakhir, program olahraga
prestasi sebenarnya merupakan kelanjutan dari dua program sebelumnya. Pada
tataran ini, para guru penjas dan para pelatih memanfaatkan tersedianya data
mengenai potensi dan bakat anak dari masing-masing sekolahnya untuk disalurkan
pada program pemuncakan dalam bentuk training camp.
Training camp adalah suatu program yang dirancang atas inisiatif masyarakat
olahraga, untuk menyediakan program yang selaras dengan misi peningkatan
prestasi tanpa harus kehilangan dasar pengembangan dan menelantarkan landasan
di tahap paling dasar; pendidikan jasmani. Program ini disediakan dalam bentuk
sport centers, yang formatnya bisa bervariasi di antara kabupaten atau kota,
sesuai dengan kemampuan dan ketersediaan fasilitas serta sumber daya
manusianya. Idealnya, training camp
dalam format sport center ini dimiliki oleh setiap kota atau kabupaten,
didasarkan pembagian wilayah. Maksudnya, jika sebuah kabupaten atau kota
terdiri dari empat wilayah, maka minimal di satu wilayah terdapat satu sport
centers, yang masing-masing sport centers tersebut mampu menyediakan beberapa
program training camp untuk cabang olahraga yang dijadikan andalan kabupaten
atau kota tersebut.
Setiap sport centers
dikelola oleh para profesional di bidangnya masing-masing, dengan program dan
kegiatan yang selalu direncanakan dan diperbaiki secara berkala, sehingga mampu
menampung para siswa potensial dan berbakat dari setiap jenjang sekolah.
Program training camp ini dapat diibaratkan sebagai sebuah elite stream,
yang mendampingi dan melanjutkan program dari klub olahraga yang bisa juga
disebut sebagai recretional stream.
Istilah recreational stream dan elite stream sudah lama dikenal
dalam sistem pengembangan suatu cabang olahraga di negara maju. Recreational
stream adalah sebuah program yang disediakan bagi seluruh siswa yang
berminat memasuki suatu klub cabang olahraga tertentu, dengan tujuan memberikan
pengenalan terhadap dasar-dasar keterampilan gerak olahraga sekaligus
menanamkan rasa kesukaan dan kecintaan anak terhadap cabang olahraga yang
diikutinya. Mengingat programnya ditujukan bagi mayoritas anak, maka program
yang ditawarkan pun dirancang agar bisa sesuai dengan mayoritas anak; tidak
terlalu sulit, dan memungkinkan anak bergerak maju sesuai dengan tingkat
kemampuannya tanpa harus dipaksakan. Peningkatan peringkat anak ditentukan oleh
tingkat penguasaannya terhadap paket yang sudah disediakan pada peringkat itu.
Jika seorang anak dipandang sudah mampu menguasai 70 s/d 80 persen dari
keterampilan yang disyaratkan, maka anak itu dapat meningkat ke peringkat
selanjutnya.
Di pihak lain, elite stream adalah program yang dirancang khusus untuk
anak-anak yang dianggap berbakat, terutama setelah diyakini berbakat melalui
pengujian pemanduan bakat, baik secara antropometrik, biomotorik, serta
psikologik dari cabang olahraga yang diikutinya. Program yang dirancang pada elite
stream ini harus memungkinkan anak meningkat prestasinya secara meyakinkan,
karena programnya sudah dirancang sedemikian rupa sesuai dengan prinsip-prinsip
training, termasuk pula dalam hal intensitas, volume, durasi, serta
frekuensinya. Dengan demikian, anak-anak yang akan dilibatkan dalam elite
stream adalah anak-anak atau siswa yang sudah dipastikan mampu mengikuti secara
ketat dan teratur program yang disediakan.
Jika proses pembinaan di Indonesia sudah mengikuti alur seperti yang diuraikan
di atas, barulah kita bisa mengatakan bahwa pola pembinaan kita mengikuti pola
piramid. Dan hanya dengan cara seperti itulah prestasi olahraga Indonesia dapat
dibangkitkan kembali. Untuk itu, kualitas program pendidikan jasmani di sekolah
perlu diperbaiki, program pendidikan kepelatihan harus pula diperbaiki,
terutama supaya para lulusannya tidak terlalu bertumpu pada keharusan menjadi
guru dan pegawai negeri; di samping itu, setiap induk organisasi pun harus
diberdayakan, sehingga mereka mampu mengerti dan sanggup membuat sistem bagi
cabang olahraganya masing-masing; dan yang terlebih penting dari itu semua,
cara pandang kita terhadap pengelolaan olahraga harus bersifat memberdayakan serta
mensinergikan semua pihak.